Novel-novel Ini Gambarkan Kengerian dan Trauma di Balik Pandemi Corona


 


Bagaimana tiga karya fiksi yang launching tahun ini dapat demikian erat hubungannya dengan epidemi covid-19 yang mengakibatkan kritis di dunia sekarang ini? Caryn James membahasnya.

Kiat Khusus Menang Judi Bola

Novel baru Emma Donoghue, The Pull of the Stars, yang berlatar belakang waktu epidemi pada tahun 1918, direncanakan untuk keluar tahun kedepan.


Tetapi, saat ia memberikan manuskrip paling akhir di bulan Maret, pas sebelum Covid-19 hentikan dunia, penerbitnya dari Amerika Serikat serta Inggris mendapatkan keterikatan yang tidak tersangka, hingga mereka memaksakan supaya buku ini selekasnya diciptakan.


"Saya pernah berasa tidak percaya," jelas Donoghue mengenai agenda itu. Tapi, sambungnya, untuk satu subyek, "Epidemi ialah hal mengagumkan buat seorang novelis.


Keadaan epidemi ialah hal yang mencelakakan kehidupan setiap hari serta memunculkan dilema norma".


Karya Donoghue ini ialah satu diantara beberapa novel yang dicatat sebelum epidemi, tapi keluar saat ini, pada suatu lanscape yang membuat mereka bertambah pas waktu serta lebih tajam dibanding yang sempat dipikirkan si penulis.


Hamnet, novel karya Maggie O'Farrell, sebuah narasi yang paling dalam mengenai kehidupan serta pemikiran istri Shakespeare serta anak lelaki mereka, Hamnet, yang wafat pada 1596, peluang berasal dari epidemi pes.


Dalam buku The End of October karya Lawrence Wright yang penelitiannya dilaksanakan dengan cara dalam serta mengerikan, diceritakan seorang periset yang mencari penebaran virus baru ke penjuru dunia.


Virus ini mengakibatkan pemberlakuan karantina, memunculkan tingkat kematian yang mengerikan, serta masalah sosial. Semua sangat terasa dekat di waktu saat ini.


Walau tidak sama style tulisan serta background, semua novel ini memakai epidemi untuk lensa warga di waktu kritis.


Mengeduk dari riwayat atau sains, beberapa penulis itu mengutamakan rumor kesehatan warga, tanggung jawab pemerintah serta ketidaksamaan kelas warga, serta dengan pandangan novelis menimbang bagaimana kekuatan-kekuatan itu memengaruhi individu-individu.


Drama tingkat tinggi mengalir dari langkah epidemi memberikan ancaman keperluan manusia yang sangat fundamen, kesehatan serta keluarga.


Komponen-komponen sosial serta personal yang luas bersatu dengan cantik dalam The Pull of the Stars yang dalam tapi mengalir.


Tokoh serta narator penting novel ini, Julia, ialah perawat dalam suatu bangsal bersalin di Dublin untuk beberapa wanita yang terserang flu. Julia berumur nyaris 30 tahun serta tinggal bersama-sama kakak lelakinya, yang semenjak datang dari medan pertarungan Perang Dunia Pertama tidak bicara sepatah kata juga sebab demikian trauma.


Bercerita pengalaman Julia semasa 3 hari di bangsal perawatan, novel ini tampilkan daya tarik naratif, kehangatan emosional, serta ketajaman psikologis sama seperti yang dikatakan Donoghue dalam novel-novel awalnya.


Ia populer dengan novel terlarisnya pada tahun 2010, Room, dimana ia tuliskan skrip untuk filmnya pada tahun 2015.


Donoghue sempat juga menulis mengenai permasalahan kesehatan, trauma serta keibuan dengan background yang bertambah bersejarah dalam The Wonder (2016), yang bercerita mengenai seorang perawat yang mendapatkan training bersama-sama Florence Nightingale serta menjaga seorang gadis religius yang akui telah beberapa bulan hidup tanpa ada makan.


Sesaat Frog Music (2014), novel karya Donoghue lainnya, berlatar belakang kejadian pandemi cacar di San Francisco pada 1876.


Satu diantara keunggulan Donoghue ialah pemakaian penelitian untuk jadikan pengalaman seorang tokoh terlihat riil. Dalam The Pull of the Stars, bab-bab dikasih judul Red, Brown, Blue serta Black, yang melambatgkan perkembangan warna kulit seorang saat flu yang mereka derita makin bertambah kronis.


Ada cerita-kisah mengenai kehamilan serta kelahiran yang menyakitkan. Walau kita lihat kejadian-peristiwa itu dari pemikiran Julia, detil klinis yang sering berdarah-darah dilukiskan dengan pas di novel.


Serta beberapa pasien Julia mempunyai karakter-sifat yang jauh tidak sama. Salah satunya tokoh dilukiskan datang dari kelas menengah, banyak tuntut serta ketakutan.


Tokoh yang lain seorang janda miskin, yang menampik penyembuhan sebab fakta agama.


Julia kerja dengan beberapa dokter yang penuh lagak style tapi tahu semakin sedikit mengenai persalinan dibanding dianya, serta ia tertarik pada tokoh sukarelawan wanita muda yang tidak berpendidikan tapi pintar, serta dikirim untuk menolong di bangsal.


Dengan tokoh penting wanita arif yang membuat ketetapan hidup atau mati, novel ini tetap buka mata serta memilukan untuk diedarkan kapanpun.


Tapi dilema yang ditemui beberapa orang pada tahun 1918 benar-benar berkaitan dengan keadaan saat ini. Buat Donoghue, epidemi dalam fiksi melebihi peristiwa riwayat mereka.


"Bagaimana rekan atau keluarga Anda sama-sama berdiskusi untuk beberapa masalah seperti, apa kita bisa memberikan pelukan pada anak, atau apa kita kenakan masker," tuturnya.


"Demikian juga pada tahun 1918, ketetapan Anda yang sangat biasa, seperti 'apakah saya akan naik trem walau saya sedang batuk?', jadi pertanyaan yang paling etis serta eksistensial."



Di buku, ketetapan setiap hari seorang - seperti apa akan memakai trem saat sedang batuk - mengakibatkan permasalahan norma yang relevan. (Getty Images)


Dalam The Pull of the Stars, gema dari epidemi sekarang ini melonjak keluar. Tidak ada yang diperkenankan berkunjung ke rumah sakit, yang hampir tidak berperan sebab demikian jumlahnya masalah.


Di luar rumah sakit dipasang sinyal, 'Dilarang berjabatan tangan, ketawa atau mengobrol dengan jarak dekat'.


Di perjalanan ke arah rumah sakit dengan memakai trem, Julia melirik judul media massa yang tertulis, 'Laporan Tambahan Masalah Influenza' serta memikir,


"Apa cuma laporannya saja yang bertambah, atau jangan-jangan epidemi ini ialah imajinasi kolektif."


Seorang biarawati perawat yang datang di bangsal sesudah lihat barisan di luar bioskop mencibir, "Lelaki serta wanita dewasa, dan beberapa anak itu, semua berdesak-desakan untuk masuk di kotak kuman besar".


Biarawati itu terdengar tidak berperasaan, tapi apalah bioskop, bila bukan satu kotak kuman yang besar?


Setiap waktu Julia mencemaskan kakaknya, serta bertanya-tanya mengenai waktu depannya sendiri. Akankah ia menikah? Jadi seorang ibu?


Dengan bercerita pengalaman di waktu epidemi dengan cara pribadi, Donoghue bersinggungan dengan tema-tema yang tetap ada: bagaimana kita mengatasi kritis, keperluan untuk tersambung dengan manusia lain, serta harga dari kehilangan jalinan itu.


Novel ini ajak kita melihat peristiwa yang kita alami sendiri. Julia memikir: "Saya kesusahan untuk lihat semacam apa hari esok. Apa kita dapat normal kembali sesudah epidemi?"


Walau tidak sama, Hamnet bercerita dengan benar-benar dalam mengenai keibuan. Hamnet Shakespeare, yang wafat di umur 11 tahun adalah profil penting dalam buku, tapi ciri-ciri intinya malah si ibu.


Kita mengenali nama istri Shakespeare ialah Anne Hathaway, tapi O'Farrell mengatakan Agnes, nama yang disebut ayah Anne dalam surat wasiatnya.


Perkembangan nama itu mengutamakan begitu dalamnya O'Farrell memikirkan kehidupan seorang wanita yang hampir belum pernah disebutkan dalam riwayat.


Agnes fiktif ialah seorang yang pintar serta mahir, bisa pahami pemikiran seseorang cukup dengan memegang tangan mereka.


Bila epidemi ialah topik umum dalam The Pull of the Stars, dalam Hamnet, hadirnya bak bayang-bayang gelap yang memayungi selama novel, seperti epidemi pes yang membuntuti Inggris selama kehidupan Shakespeare.


Saat itu, epidemi pes berawal di era ke-14 untuk 'Black Death'.


Epidemi itu menggempur keluarga Agnes seperti kilat, dilukiskan dengan detil yang tidak membahagiakan.


Hamnet muda melihat begitu tersiksanya Judith, saudara kembarnya, serta menanyakan ke ibunya. "Ia terserang itu,' kata Hamnet dengan bisikan parau, 'Iya kan?"


Keragu-raguannya menerangkan apakah yang dimaksud dengan "itu".


Agnes mengenal tanda-tandanya, lebam atau tonjolan yang "mencolok di kulit", di leher serta ketiak putrinya.


Hamnet ketakutan oleh bayangan yang tampil di pintu, "tinggi, berjubah hitam, serta dalam tempat dimana semestinya ada muka ada topeng mengerikan yang tidak berupa, runcing seperti paruh burung raksasa.


Rupanya figur itu ialah dokter dengan topeng pelindung, yang malas masuk ke rumah tapi harus sampaikan pesan ke keluarga mereka.


Mereka tetap harus berada didalam rumah sampai 'wabah sampar berlalu'.


Lompatan imajinasi Farrell yang berani berakar dari era ke-16, serta novelnya dituntaskan serta sebelum beberapa periset dengar mengenai Covid-19, tapi ketakutan serta duka cita yang dirasakan tokoh-tokohnya semasa epidemi itu seperti yang kita alami saat ini.


The End of October, yang mulai dicatat Wright pada 2017, dilandaskan pada riset serta interviu dengan beberapa periset yang sudah lama lihat hadirnya epidemi.


Novel ini bisa ada untuk peringatan, tapi keserupaannya dengan kritis sekarang ini demikian mengagetkan, hingga membuat seperti ramalan.


Wright ialah jurnalis populer yang sudah menulis buku mengenai 9-11 serta Scientology. Buku-bukunya tidak seperti karya sastra, tidak seperti karya Donoghue atau O'Farrell.


Tetapi demikian, ia membuat cerita menarik, yang fokus pada tokoh fiksi Henry Parsons, seorang ahli penyakit menyebar yang kerja di Pusat Pengaturan serta Penjagaan Penyakit Amerika Serikat, yang lakukan perjalanan ke Indonesia untuk menyelidik laporan pertama mengenai satu penyakit baru.


"Ini dapat jadi virus corona, seperti Sars atau Mers," Henry bertaruh. Selekasnya saja, penyakit fiktif yang disebutkan Kongoli flu itu merusak perekonomian nasional serta mengakibatkan kritis politik global.


Henry ikuti jejak penyakit itu sampai ke Arab Saudi, dimana Mekah harus diisolasi semasa musim haji.


Dalam kehidupan riil, tahun ini beribadah haji diurungkan, satu diantara sedikit point dimana fakta tidak seburuk yang ditemui Henry.



Novel kontemporer Lawrence Wright, The End of October, dicatat berdasar penelitian serta interviu dengan beberapa periset yang telah lama meramalkan hadirnya epidemi. (Getty Images)


Wright menulis, kritis pada akhirnya dirasakan dengan cara pribadi. Henry terus-terusan mencemaskan istri serta dua anaknya di tempat tinggalnya, di Atlanta, dimana suplai makanan terusik serta jaringan listrik mati.


Upayanya untuk hentikan penyakit ini berbuntut pada usaha untuk selamatkan keluarganya. Tapi kemampuan The End of October ada pada detil reportorialnya.


Benar-benar mengagumkan serta mengerikan lihat begitu cerdiknya Wright melihat begitu loyonya pemerintah serta persiapan kesehatan umum hingga mengakibatkan musibah saat epidemi menempa.


Di Washington yang fiktif, wapres yang bertanggungjawab atas tanggapan epidemi pemerintah, menekan supaya beberapa periset sampaikan berita baik mengenai vaksin ke warga Amerika.


Beberapa periset mengingatkannya jika tidak ada vaksin atau penyembuhan yang dapat selekasnya ada, tapi ia akan memelintir pengakuan itu dengan memberikan keyakinan.


"Bisakah kita minta presiden menjelaskan jika vaksin sedang dalam peningkatan?" Ia tidak mau dengar kata 'tidak'. Adegan ini benar-benar logis untuk kabar yang disampaikan ini hari.


Donoghue membuat penilaian sama pada beberapa pimpinan politik semasa epidemi saat ini. Saat tengah mengubah novelnya, ia mengatakan:


"Saya dengar beberapa politikus menjelaskan beberapa kalimat sama juga dengan beberapa pesan yang keluar pada tahun 1918, agunan yang tidak jelas, yang tidak berdasar bukti ilmiah Sekalian menulis buku ini saya memikir, 'Saya semakin lebih yakin ilmu dan pengetahuan dibanding politik, sampai kapan pun'."


Seperti novelis-novelis yang lain ada dengan buku mengenai epidemi dengan cara tidak menyengaja di tahun ini, Donoghue tidak mengubah apa saja dalam bukunya untuk menceritakan mengenai virus baru. Ia tak perlu melakukan.


Postingan populer dari blog ini

Israel resumed fighting in northern Gaza earlier this month

soon to begin

Movie doubters state that the guideline